
Bayangkan Anda seorang HR Manager di sebuah perusahaan yang sedang naik daun. Semua terlihat sempurna—angka revenue terus tumbuh, media meliput pencapaian perusahaan, dan karyawan terlihat bahagia. Tapi di balik layar, ada satu hal yang selama ini dianggap sepele: compliance. Dokumen-dokumen kebijakan yang jarang dibuka. SOP yang hanya ditandatangani tanpa dipahami. Aturan hukum yang di-copy paste dari internet lima tahun lalu.
Awalnya, tak ada yang terasa salah. Tapi seperti bom waktu yang berdetik pelan, semuanya mulai berubah saat seorang karyawan mengajukan komplain soal pemotongan gaji yang tidak dijelaskan. Lalu muncul audit internal yang menemukan kontrak kerja tak sesuai aturan. Lalu muncul aduan soal diskriminasi yang tak pernah ditindak. Satu per satu retakan itu menjadi jurang.
Pertanyaannya adalah: seberapa besar risiko yang Anda ambil ketika HR hanya menganggap compliance sebagai formalitas?
Seringkali kita terjebak pada rutinitas: rekrutmen, absensi, payroll, pelatihan. Tapi kita lupa bahwa salah satu peran terbesar HR adalah memastikan perusahaan berdiri di atas fondasi tata kelola yang kuat. Bukan hanya untuk taat hukum, tapi untuk menjaga reputasi, melindungi karyawan, dan memastikan keberlangsungan bisnis jangka panjang.
Dan percayalah—dampaknya bukan hanya soal dokumen. Tapi bisa merembet ke krisis yang mengguncang seluruh organisasi.
Lalu muncul pertanyaan penting: Apa saja bentuk pengabaian compliance yang sering terjadi di dunia HR, dan mengapa hal-hal ini bisa menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan perusahaan?
Tanpa disadari, banyak tim HR yang terjebak dalam autopilot—menganggap bahwa selama tidak ada masalah yang muncul, berarti semuanya baik-baik saja. Padahal, justru di situlah celahnya. Ketika kita terlalu percaya bahwa “tidak ada berita berarti kabar baik”, kita berhenti menggali lebih dalam. Kita lupa bahwa tata kelola yang kuat bukan tentang memadamkan api ketika sudah terbakar, tapi tentang memastikan tidak ada percikan kecil yang dibiarkan menyala.
Mari kita bedah satu per satu.
Kita mulai dari hal-hal yang tampak sederhana, tapi seringkali justru menjadi awal dari rangkaian masalah besar. Dan mungkin… beberapa di antaranya diam-diam juga sedang terjadi di tempat kerja Anda saat ini.
Bentuk Pengabaian Compliance yang Sering Terjadi di Dunia HR
1. Tidak Mengikuti Perubahan Regulasi Ketenagakerjaan
Peraturan ketenagakerjaan di Indonesia terus berkembang. Misalnya, sejak diberlakukannya UU Cipta Kerja dan turunannya, banyak pasal yang mengubah ketentuan soal PKWT, jam kerja, hingga hak pesangon. Namun, tidak sedikit perusahaan yang masih mengacu pada aturan lama. Akibatnya? Perjanjian kerja bisa tidak sah, hak karyawan bisa terlanggar, dan potensi gugatan terbuka lebar.
Sebagai HR, menjadi wajib hukumnya untuk terus update terhadap regulasi terbaru, bukan hanya saat ada audit atau inspeksi. Karena setiap kali Anda mengabaikan perubahan hukum, Anda sebenarnya sedang mengundang risiko hukum yang tidak perlu.
2. Penerapan Kontrak Kerja yang Tidak Transparan
Kontrak kerja bukan hanya formalitas di awal hubungan kerja. Ia adalah landasan hukum yang menjelaskan hak dan kewajiban kedua belah pihak. Tapi dalam praktiknya, seringkali kontrak dibuat secara terburu-buru, tidak dijelaskan ke karyawan, bahkan tidak diberikan salinan resminya. Ini bukan hanya melanggar hukum, tapi juga menggerus kepercayaan antara karyawan dan perusahaan.
Dalam beberapa kasus, penggunaan kontrak PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) secara tidak sah—misalnya untuk pekerjaan yang sifatnya tetap—bisa berujung pada perubahan status otomatis menjadi karyawan tetap. Hal ini bisa memaksa perusahaan membayar kompensasi besar tanpa perencanaan sebelumnya.
3. Ketidakjelasan dalam Prosedur PHK
Pemutusan Hubungan Kerja adalah salah satu proses yang paling rawan konflik jika tidak dilakukan dengan hati-hati. Banyak HR hanya berfokus pada “cara melepas” karyawan secara cepat, tanpa memastikan apakah prosesnya sudah sesuai prosedur UU dan apakah kompensasinya sudah adil.
PHK yang dilakukan secara sepihak tanpa alasan hukum yang jelas—atau tanpa mekanisme bipartit—bisa berujung pada gugatan ke PHI (Pengadilan Hubungan Industrial). Dan satu gugatan saja, bisa merusak reputasi perusahaan secara nasional.
4. Minimnya Sistem Pelaporan Internal (Whistleblowing System)
Dalam dunia kerja modern, perusahaan dituntut untuk menyediakan ruang aman bagi karyawan yang ingin melaporkan pelanggaran—baik itu pelecehan, korupsi, intimidasi, atau diskriminasi. Namun, masih banyak HR yang tidak memiliki sistem pelaporan yang jelas, apalagi yang bersifat rahasia dan melindungi pelapor.
Akibatnya, masalah yang sebenarnya bisa ditangani secara internal malah bocor ke publik. Begitu menyebar ke media sosial, perusahaan bisa menghadapi gelombang krisis reputasi, bahkan boikot dari pasar.
5. Pengelolaan Data Karyawan yang Ceroboh
Di era digital, data pribadi adalah aset sekaligus kewajiban. Data karyawan—mulai dari KTP, NPWP, rekening bank, hingga rekam medis—harus dikelola secara aman sesuai prinsip perlindungan data pribadi. Namun, tidak jarang data tersebut disimpan sembarangan, atau diakses oleh pihak yang tidak berwenang.
Dengan diberlakukannya UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), pelanggaran terhadap data karyawan dapat berujung pada sanksi administratif hingga pidana. Ini bukan sekadar isu teknis, tapi isu compliance yang langsung menyentuh ranah HR.
6. Kebijakan Internal yang Tidak Diterapkan secara Konsisten
Perusahaan mungkin memiliki banyak kebijakan tertulis—dari etika kerja, anti-korupsi, kode perilaku, hingga aturan penggunaan media sosial. Tapi jika kebijakan itu hanya disimpan dalam folder dan tidak disosialisasikan, tidak dikontrol penerapannya, atau bahkan hanya digunakan “untuk beberapa orang tertentu”, maka nilai tata kelola menjadi tidak relevan.
Karyawan akan merasa tidak diperlakukan adil. Dan lebih parahnya, budaya organisasi akan rusak dari dalam karena tidak ada konsistensi antara yang tertulis dan yang terjadi di lapangan.
Dampak Jangka Panjang: Dari Internal Chaos hingga Reputasi Runtuh
1. Dampak Hukum: Dari Teguran Hingga Gugatan Perdata/Pidana
Salah satu risiko paling langsung dari ketidakpatuhan adalah konsekuensi hukum. HR yang lalai mengikuti aturan perundang-undangan seperti UU Ketenagakerjaan, UU Cipta Kerja, UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), atau peraturan BPJS, dapat menyebabkan perusahaan dikenai:
- Teguran dari instansi pemerintah (Disnaker, OJK, Kominfo).
- Denda administratif yang nilainya bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah.
- Gugatan dari karyawan yang bisa dibawa ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
- Sanksi pidana jika terjadi pelanggaran berat seperti pemalsuan data atau diskriminasi sistematis.
Contoh nyata? Banyak kasus di mana perusahaan harus membayar kompensasi miliaran rupiah hanya karena HR gagal memahami jenis kontrak yang sah.
2. Dampak Operasional: Chaos di Lapangan, Disintegrasi Tim
Ketika SOP tidak dijalankan dengan konsisten, atau kebijakan berubah-ubah tanpa dokumentasi dan sosialisasi yang tepat, tim HR tidak akan lagi dianggap kredibel. Akibatnya:
- Proses kerja menjadi tidak efisien karena karyawan bingung harus mengikuti aturan yang mana.
- HR dianggap “tidak netral”, apalagi jika kebijakan hanya diterapkan ke sebagian pihak.
- Eskalasi konflik meningkat karena tidak ada standar penyelesaian masalah yang baku.
Situasi seperti ini bisa melumpuhkan operasi, menurunkan produktivitas, dan memicu retaknya hubungan antar divisi.
3. Dampak Finansial: Biaya Tak Terduga yang Merugikan Bisnis
Pengabaian compliance tidak hanya merusak dari sisi hukum, tapi juga dari sisi keuangan. Beberapa dampak finansial yang sering muncul akibat kelalaian HR antara lain:
- Kompensasi akibat PHK sepihak atau kontrak tidak sah.
- Kerugian karena salah hitung pajak atau iuran, misalnya BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan.
- Kerusakan aset atau denda data breach karena sistem pengelolaan data tidak sesuai standar UU PDP.
- Biaya hukum dan reputasi untuk merespons krisis akibat viralnya isu internal.
Perusahaan yang tampak “hemat” dengan meminimalkan investasi di compliance justru akhirnya merugi lebih besar karena harus menanggung biaya koreksi dan pemulihan.
4. Dampak Reputasi: Kepercayaan Publik Ambruk Seketika
Di era digital, krisis reputasi bisa muncul dalam semalam. Cukup satu testimoni dari mantan karyawan yang mengunggah kasus ketidakadilan atau diskriminasi ke media sosial—dan publik pun merespons.
Ketika publik mengetahui bahwa sebuah perusahaan:
- Melakukan PHK massal tanpa kejelasan,
- Menganaktirikan karyawan berdasarkan gender, usia, atau orientasi,
- Tidak transparan dalam manajemen SDM,
…maka brand perusahaan tidak hanya rusak di mata konsumen, tapi juga di mata talenta-talenta terbaik yang sedang mempertimbangkan bergabung.
Reputasi yang rusak karena pelanggaran etika atau tata kelola bisa lebih mahal harganya daripada sekadar denda hukum.
5. Dampak Terhadap Budaya Organisasi: Erosi Nilai, Hilangnya Kepercayaan
Inilah dampak paling sunyi, tapi paling dalam: keretakan kepercayaan di dalam organisasi.
Saat karyawan merasa:
- Tidak dilindungi oleh sistem pelaporan,
- Tidak diperlakukan adil dalam proses kenaikan jabatan atau insentif,
- Tidak punya kejelasan soal hak-hak mereka,
…maka akan lahir budaya kerja yang sinis, individualistis, dan defensif.
Rasa memiliki terhadap organisasi akan menghilang. Karyawan bekerja sekadar menggugurkan kewajiban, tanpa semangat kolaborasi atau inisiatif. Akibatnya, perusahaan kehilangan energi paling berharga: loyalitas dan keterlibatan (engagement).
Lalu, Bagaimana Cara Menghindari dan Memperbaiki Pengabaian Compliance oleh HR?
Setelah memahami berbagai risiko dan dampak dari kelalaian dalam tata kelola, pertanyaan selanjutnya yang harus dijawab adalah: Apa yang bisa dilakukan HR agar tidak terjebak dalam pola yang sama? Baik Anda sedang membangun sistem dari nol, maupun memperbaiki yang sudah ada—berikut ini langkah-langkah strategis dan aplikatif yang bisa diambil:
1. Lakukan Audit Internal secara Berkala
Langkah pertama untuk memperbaiki compliance adalah dengan mengevaluasi kondisi aktual secara menyeluruh:
- Apakah kontrak kerja sesuai dengan regulasi terbaru?
- Apakah kebijakan internal terdokumentasi dan mudah diakses?
- Apakah proses PHK, promosi, cuti, dan lembur sudah mengikuti hukum yang berlaku?
- Apakah ada sistem pengelolaan data pribadi yang aman dan transparan?
Lakukan audit minimal 1 kali setahun, dan libatkan tim lintas divisi jika perlu (HR, legal, finance, IT). Audit ini bukan untuk mencari kesalahan, tapi untuk mengidentifikasi celah sebelum menjadi masalah.
2. Update dan Sosialisasikan Kebijakan SDM
Peraturan internal tidak boleh hanya berhenti di kertas atau file PDF. HR harus memastikan kebijakan:
- Sudah update dengan UU terbaru (UU Cipta Kerja, UU PDP, dll).
- Disampaikan secara aktif melalui onboarding, pelatihan rutin, atau email berkala.
- Dipahami semua level karyawan, tidak hanya manajerial.
Gunakan bahasa yang sederhana dan interaktif dalam penyampaiannya. Bila perlu, buat infografik, video singkat, atau FAQ seputar hak & kewajiban karyawan. Kebijakan yang hanya dipahami HR tidak akan berfungsi optimal.
3. Bangun Sistem Whistleblowing yang Aman dan Terpercaya
Sediakan kanal pelaporan yang:
- Bisa diakses secara rahasia dan bebas tekanan.
- Ada mekanisme tindak lanjut yang jelas dan tegas.
- Melibatkan pihak independen bila memungkinkan.
Whistleblowing system bukan sekadar formalitas untuk memenuhi ISO atau CSR. Ini adalah bentuk perlindungan nyata bagi karyawan dan aset moral perusahaan.
4. Kelola Data Karyawan dengan Prinsip Privasi
Implementasikan prinsip-prinsip dasar perlindungan data pribadi:
- Batasi akses hanya kepada pihak yang berwenang.
- Enkripsi atau amankan dokumen penting secara digital.
- Buat SOP pengelolaan data dan lakukan pelatihan data privacy untuk tim HR.
Selain mencegah kebocoran, langkah ini juga akan membangun kepercayaan karyawan terhadap sistem HR.
5. Pastikan HR Paham Hukum dan Etika Kerja
Investasikan waktu dan sumber daya untuk memperkuat kompetensi HR dalam hal:
- Hukum ketenagakerjaan, perjanjian kerja, dan sistem pengupahan.
- Peraturan tentang K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja).
- UU Perlindungan Data Pribadi.
- Etika profesi dan integritas dalam pengambilan keputusan.
Jika tidak ada tim legal khusus, pertimbangkan untuk bermitra dengan konsultan hukum atau mengikuti pelatihan eksternal secara berkala.
6. Bangun Budaya Kepatuhan, Bukan Sekadar Kepatuhan di Atas Kertas
Lebih dari sekadar dokumen, compliance harus menjadi bagian dari budaya kerja organisasi. HR dapat mendorong hal ini dengan:
- Memberi teladan dalam hal transparansi dan keadilan.
- Mengintegrasikan nilai-nilai etika dalam KPI dan performance review.
- Memberikan reward untuk perilaku yang mendukung kepatuhan.
Compliance yang hidup dalam budaya perusahaan akan menjalar secara alami ke seluruh lini kerja—dan menjadi tameng terkuat menghadapi krisis.
7. Gunakan Teknologi untuk Otomatisasi dan Pengawasan
Gunakan HRIS (Human Resources Information System) yang terintegrasi untuk:
- Menyimpan kontrak dan data penting secara rapi.
- Memantau masa berlaku kontrak/PKWT dan iuran BPJS.
- Memudahkan pelaporan ke instansi pemerintah.
Teknologi akan meminimalkan human error dan membantu HR fokus pada peran strategis, bukan tenggelam dalam pekerjaan administratif berulang.
Di Balik Dokumen, Ada Masa Depan yang Dipertaruhkan
Seringkali kita menyepelekan sesuatu hanya karena bentuknya terlihat sederhana—selembar kontrak, kebijakan di folder bersama, SOP yang jarang dibuka. Tapi di balik setiap dokumen itu, ada hak yang harus dijaga, ada suara yang harus dilindungi, dan ada masa depan yang sedang dipertaruhkan.
Compliance bukan hanya tentang menaati aturan demi menghindari sanksi. Ia adalah wujud dari integritas organisasi. Ia adalah jembatan antara niat baik dan tindakan nyata. Dan dalam ekosistem bisnis yang semakin transparan dan digital, kepercayaan adalah mata uang yang paling berharga—dan compliance adalah alat tukarnya.
Bagi tim HR, ini bukan sekadar pekerjaan administratif. Ini adalah panggilan untuk naik kelas, untuk mengambil peran sebagai penjaga nilai, sebagai pihak yang memastikan bahwa di balik setiap proses kerja, ada etika yang ditegakkan, ada keadilan yang diperjuangkan, dan ada keberlangsungan yang disiapkan.
Ketika HR mengabaikan tata kelola, yang terganggu bukan hanya sistem—tetapi keseimbangan seluruh ekosistem kerja.
Sebaliknya, ketika HR mulai membenahi hal-hal kecil, mulai dari kontrak, kebijakan, hingga budaya kepatuhan—maka perusahaan sedang membangun benteng moral yang kokoh.
Jadi, saat Anda melihat tumpukan dokumen atau kebijakan lama, jangan anggap itu sebagai beban. Lihatlah itu sebagai titik mula perubahan.
Karena pada akhirnya, bukan seberapa banyak aturan yang Anda miliki yang menentukan ketahanan organisasi, tetapi seberapa sungguh-sungguh Anda menjadikannya bagian dari napas kerja sehari-hari.
Compliance bukan sekadar dokumen. Ia adalah refleksi dari siapa kita, dan ke mana kita ingin membawa organisasi ini. Maka, jagalah ia, hidupkan ia, dan bangunlah masa depan yang lebih bersih, lebih adil, dan lebih terpercaya—dimulai dari peran kecil HR hari ini.