Ketenagakerjaan di Indonesia: Masihkah Kita Bekerja untuk Hidup, atau Hidup untuk Bekerja?

“Kerja keras, banting tulang, biar bisa hidup enak nanti.”

Kalimat itu mungkin udah sering banget kita denger. Tapi di tengah target, meeting tanpa henti, kerja lembur yang seolah jadi budaya—kadang muncul satu pertanyaan sederhana tapi dalam:

“Sebenarnya, aku kerja buat hidup… atau sekarang hidupku cuma buat kerja?”


Waktu Kerja Jadi Segalanya?

Dari pagi sebelum matahari naik, sampai malam ketika orang lain udah rebahan, kamu masih depan laptop. Weekend pun sering “dicolek” buat revisi atau laporan.

Bukan karena kamu pemalas. Justru sebaliknya. Kamu rajin, loyal, bahkan terlalu setia.

Tapi pernah nggak sih kamu mikir:
“Kapan terakhir kali aku libur tanpa rasa bersalah?”
Atau:
“Kenapa aku mulai lupa rasanya punya waktu buat diri sendiri?”


Kesejahteraan Itu Lebih dari Sekadar Gaji

Gaji memang penting, no debat. Tapi:

  • Apakah kita dibayar setimpal dengan waktu, energi, dan pikiran yang kita keluarkan?
  • Apakah kita merasa dihargai sebagai manusia, bukan hanya ‘mesin produktivitas’?
  • Apakah kita punya kesempatan untuk berkembang, bukan cuma disuruh “bertahan”?

Di banyak tempat kerja, kita sering dituntut untuk “tahan banting” dan “nggak baperan”. Padahal di balik layar, banyak yang burnout, cemas, dan kehilangan arah.


Budaya Kerja Kita: Masih Perlu Banyak PR

Kita nggak bisa memungkiri, budaya kerja di Indonesia masih sering memuja “kerja keras = kerja bagus”, walau seringkali itu berarti lembur terus, multitasking gila-gilaan, dan nggak ada waktu pulang yang pasti.

Padahal:

Produktif itu bukan tentang waktu yang dihabiskan, tapi tentang hasil yang dicapai dengan cara yang sehat.


Jadi, Apa Solusinya?

Nggak semua orang bisa langsung resign atau banting stir. Tapi ada beberapa hal yang bisa mulai dilakukan:

Untuk karyawan:

  • Belajar bilang “tidak” kalau beban kerja sudah di luar batas
  • Usahakan tetap punya waktu untuk istirahat, hobi, dan orang tersayang
  • Cari tahu hak-hakmu soal jam kerja, lembur, dan cuti (karena itu bukan bonus, tapi hak dasar)

Untuk perusahaan & HR:

  • Bangun budaya kerja yang sehat: fleksibel, manusiawi, dan saling menghargai
  • Ukur performa dari kualitas, bukan sekadar kehadiran
  • Sediakan ruang untuk ngobrol dan mengeluh—karena kadang itu lebih menyembuhkan dari coffee break

Hidup Itu Lebih dari Sekadar Kerja

Bekerja adalah bagian dari hidup—bukan hidup itu sendiri.
Kita semua punya mimpi, hubungan, dan sisi diri yang butuh ruang untuk bernapas.

Jadi pertanyaannya bukan cuma “di mana kamu kerja?” tapi juga:
“Apakah kamu masih punya hidup di luar pekerjaanmu?”


Punya cerita soal ini?
Pernah ngerasa hidupmu ‘cuma kerja’ doang? Atau justru kamu udah nemuin ritme sehatmu sendiri?

Yuk cerita di kolom komentar. Siapa tahu, cerita kamu bisa jadi inspirasi buat yang lain juga.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top