
Bayangkan kamu baru lulus kuliah, membawa harapan besar untuk meniti karier. Setelah melalui proses panjang—skripsi, sidang, yudisium—akhirnya kamu punya senjata utama: ijazah. Tapi begitu kamu diterima kerja, ternyata ijazah itu malah ditahan oleh HRD. Alasannya? Untuk jaminan agar kamu tidak “kabur” dari pekerjaan. Ironis, ya?
Di sisi lain, sebagai HR, kamu mungkin juga pernah mengalami dilema saat melihat ijazah pelamar yang mencurigakan. Gelarnya meyakinkan, tapi instansinya tidak terdengar familiar. Jangan-jangan… palsu?
Dua sisi inilah yang sering kali bertabrakan di dunia kerja profesional: antara perlindungan hak karyawan dan kewaspadaan perusahaan. Penahanan ijazah kerap dianggap hal lumrah, padahal berpotensi melanggar hukum. Sementara fenomena ijazah palsu bikin proses rekrutmen makin penuh kehati-hatian.
Masalahnya bukan sekadar kertas—ini soal integritas, kepercayaan, dan kepatuhan hukum. Di tengah tuntutan profesionalisme dan persaingan karier yang makin ketat, dunia kerja dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana menyikapi isu ini secara adil dan konstruktif?
1. Penahanan Ijazah oleh Perusahaan, Masih Perlu?
Masih banyak perusahaan di Indonesia—baik skala kecil, menengah, maupun besar—yang mempraktikkan penahanan ijazah sebagai bentuk “jaminan moral” terhadap karyawan baru. Tujuannya? Agar mereka tidak resign terlalu cepat atau “kabur” setelah menerima pelatihan.
Sayangnya, praktik ini secara hukum sebenarnya tidak memiliki dasar yang kuat. Berdasarkan Pasal 9 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan prinsip dasar Hak Asasi Manusia, setiap orang berhak atas perlakuan adil di tempat kerja, termasuk dalam kepemilikan dokumen pribadinya.
Ijazah adalah milik pribadi. Menahannya tanpa kesepakatan yang sah dan tertulis bisa dianggap sebagai bentuk pelanggaran hak dan dapat dipidanakan.
Sebagai HR, solusinya?
Alih-alih menahan dokumen, gunakan pendekatan profesional:
- Terapkan masa percobaan kerja (probation) yang objektif dan jelas.
- Buat kontrak yang jelas, rinci, dan transparan tentang kewajiban & hak karyawan, termasuk sanksi jika ikatan kerja dilanggar.
- Terapkan sistem retention bonus atau training bond agreement yang sah secara hukum, daripada menyandera dokumen pribadi.
2. Fenomena Ijazah Palsu, HR Harus Makin Teliti
Di sisi lain, perusahaan juga dihadapkan pada tantangan validasi ijazah—apalagi dengan semakin maraknya jasa “jual-beli gelar” yang beredar online. Dalam proses rekrutmen, hal ini menjadi momok tersendiri.
Ijazah palsu bukan hanya merugikan perusahaan dari sisi kualitas SDM, tapi juga bisa menjadi risiko hukum apabila individu tersebut menempati posisi strategis yang membutuhkan kualifikasi tertentu.
Bagaimana HR menyikapinya?
- Gunakan platform verifikasi akademik, seperti SIVIL dari Kemendikbud.
- Lakukan background check terhadap institusi pendidikan pelamar.
- Bangun kultur rekrutmen berbasis kompetensi, bukan sekadar gelar.
Bukan cuma ijazahnya yang penting, tapi juga bukti nyata kemampuan calon karyawan. Jangan terjebak pada tumpukan sertifikat tanpa kualitas kerja.
3. Implikasi Etis dan Psikologis
Bayangkan jadi karyawan baru yang ijazahnya ditahan. Setiap hari datang kerja dengan perasaan was-was, karena merasa hak dasarnya sedang “disandera”. Dampaknya bukan cuma ke semangat kerja, tapi juga kesehatan mental dan kepercayaan terhadap perusahaan.
Di sisi lain, bagi perusahaan yang tertipu oleh ijazah palsu, rasa kecewa dan ketidakpercayaan terhadap proses rekrutmen bisa menimbulkan efek domino ke sistem HR yang lain.
Artinya, kedua pihak bisa sama-sama rugi. Maka dari itu, langkah preventif dan pendekatan berbasis keadilan perlu diutamakan.
4. Membangun Sistem yang Adil dan Transparan
Kunci dari semua ini adalah: komunikasi yang terbuka, sistem kerja yang transparan, dan pendekatan yang konstruktif.
Bagi HR:
- Ciptakan SOP rekrutmen yang legal dan etis.
- Edukasi tim rekrutmen soal hukum ketenagakerjaan.
- Gunakan teknologi untuk mempercepat dan memvalidasi proses administrasi.
Bagi Profesional/Pelamar:
- Pastikan semua dokumen asli dan valid.
- Jangan ragu untuk menanyakan hak-hak dasar di awal kontrak kerja.
- Laporkan jika merasa diperlakukan tidak adil.
Di tengah dinamika dunia profesional yang semakin kompleks, isu penahanan ijazah dan maraknya ijazah palsu bukan sekadar persoalan administratif. Ini adalah cerminan dari hubungan kerja yang belum sepenuhnya didasarkan pada kepercayaan, transparansi, dan penghargaan terhadap hak asasi manusia.
Perusahaan perlu menyadari bahwa menciptakan lingkungan kerja yang sehat bukan hanya soal target dan produktivitas, tapi juga bagaimana mereka memperlakukan sumber daya manusianya dengan hormat dan adil. Menahan ijazah bukan bentuk kendali, melainkan bentuk ketidakpercayaan. Sementara memalsukan ijazah bukan bentuk strategi, melainkan bentuk manipulasi yang merusak integritas profesi.
Kuncinya? Edukasi, regulasi, dan komunikasi yang terbuka.
HR perlu dibekali pemahaman hukum dan etika kerja. Kandidat juga perlu didorong untuk bersikap jujur dan terbuka dalam proses rekrutmen. Sistem perekrutan harus berbasis kompetensi, bukan sekadar dokumen.
Dengan begitu, perusahaan dan pekerja dapat membangun relasi kerja yang saling menguntungkan, aman, dan berkelanjutan. Dunia kerja akan menjadi ruang tumbuh bersama, bukan ajang saling curiga atau pertarungan sepihak.
Karena pada akhirnya, yang kita butuhkan bukan sistem yang kaku dan mengekang, tapi ruang kerja yang manusiawi, profesional, dan menghormati kontribusi serta harapan semua pihak.