PHK Masif, Diam-Diam Banyak Karyawan Punya Pekerjaan Sampingan… Apa Kata Aturan?

Dalam dua tahun terakhir, peta ketenagakerjaan di Indonesia mengalami guncangan besar. Data Kementerian Ketenagakerjaan dan berbagai lembaga riset mencatat, angka PHK massal meningkat tajam di sektor teknologi, ritel, manufaktur, hingga perbankan. Sementara itu, biaya hidup terus menanjak, dan kenaikan gaji tahunan nyaris tak sebanding dengan laju inflasi.

Di tengah situasi ini, pekerjaan sampingan di kalangan karyawan formal menjadi fenomena yang semakin umum. Mulai dari berjualan online, mengajar kursus privat, menjadi driver transportasi daring, hingga mengerjakan proyek freelance untuk klien luar negeri.

Lalu, di sinilah pertanyaan yang memecah opini muncul:
Apakah ini wajar dan sah secara hukum? Atau justru bentuk “pengkhianatan” terhadap perusahaan yang memberi mereka gaji?
Bagaimana kalau Anda sendiri berada di posisi atasan yang tahu karyawan Anda punya pekerjaan lain? Apakah Anda akan memaklumi, atau menganggap itu masalah serius?

Menariknya, banyak karyawan menjalankan aktivitas ini secara diam-diam, tanpa izin atau sepengetahuan perusahaan. Ada yang menganggapnya sebagai hak pribadi selama tidak mengganggu jam kerja. Ada pula yang melihatnya sebagai bentuk pelanggaran kontrak dan etika kerja.

Latar Belakang – Lonjakan Pekerjaan Sampingan di Tengah PHK Masif

Fenomena karyawan dengan pekerjaan sampingan bukan lagi cerita langka. Ada tiga faktor besar yang menjadi pendorongnya:

1. Rasa Tidak Aman Terhadap Pekerjaan Utama

Gelombang PHK membuat banyak pekerja merasa posisi mereka sewaktu-waktu bisa hilang. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, di tahun 2024, ada lebih dari 1,2 juta pekerja yang terdampak restrukturisasi perusahaan. Opini yang berkembang di kalangan pekerja: “Daripada nanti kaget kehilangan pekerjaan, lebih baik punya backup income dari sekarang.”
Dari sisi psikologis, langkah ini masuk akal. Namun dari perspektif perusahaan, karyawan yang membagi fokus bisa dianggap tidak 100% berkomitmen, terutama jika pekerjaan sampingan memengaruhi performa di jam kerja.

2. Kebutuhan Ekonomi yang Terus Meningkat

Harga kebutuhan pokok, biaya transportasi, dan sewa tempat tinggal terus naik. Laporan Bank Indonesia mencatat inflasi tahunan di kisaran 3%–4%, sementara kenaikan gaji rata-rata pekerja formal sering kali di bawah angka tersebut. Akibatnya, gaji bulanan tidak lagi mencukupi.
Fakta ini mendorong banyak pekerja untuk mencari jalan keluar cepat—dan pekerjaan sampingan menjadi pilihan paling realistis. Dari sisi opini publik, sebagian besar setuju bahwa ini adalah hak pekerja. Namun pihak manajemen sering menganggap alasan ekonomi tidak bisa menjadi pembenaran jika ada pelanggaran kontrak kerja.

3. Akses Mudah ke Platform Digital

Revolusi digital membuat peluang kerja tambahan semakin mudah diakses. Marketplace, media sosial, dan platform freelance memungkinkan karyawan mendapatkan penghasilan ekstra hanya bermodal laptop dan internet.
Bahkan, menurut survei Katadata Insight Center, hampir 40% pekerja milenial mengaku pernah atau sedang mengerjakan pekerjaan sampingan berbasis digital. Di satu sisi, ini membuka peluang ekonomi baru. Di sisi lain, batas antara waktu kerja dan waktu pribadi semakin kabur, memicu potensi konflik kepentingan.

Ketentuan Hukum

Secara hukum di Indonesia, tidak ada larangan eksplisit yang menyatakan bahwa karyawan tidak boleh memiliki pekerjaan sampingan. Namun, ada sejumlah rambu yang diatur baik dalam peraturan perundang-undangan maupun dalam kontrak kerja perusahaan. Rambu inilah yang sering kali diabaikan atau bahkan tidak diketahui oleh pekerja.

Berikut empat poin penting yang menjadi acuan:

1. Kontrak Kerja dan Klausul Konflik Kepentingan
Hampir semua kontrak kerja modern memuat klausul tentang larangan konflik kepentingan. Di Indonesia, aturan ini mendapat dukungan dari UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja yang menegaskan pentingnya loyalitas pekerja selama masa hubungan kerja. Konflik kepentingan tidak selalu berarti kecurangan besar-besaran—bisa saja hanya berupa aktivitas di luar kantor yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi objektivitas pekerjaan utama. Dalam praktiknya, perusahaan biasanya menempatkan klausul ini di bagian tengah atau akhir kontrak, sehingga banyak karyawan melewatkannya saat membaca. Namun secara hukum, tanda tangan di atas kontrak adalah pernyataan setuju, terlepas dari apakah Anda benar-benar membacanya atau tidak.

2. Peraturan Perusahaan dan Kode Etik Internal
Selain kontrak, ada Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang menjadi “kitab internal” tempat berbagai kebijakan dituangkan. Pada banyak perusahaan, aturan mengenai pekerjaan sampingan atau usaha pribadi biasanya diselipkan di bagian larangan penyalahgunaan fasilitas, penggunaan waktu kerja, atau etika berbisnis. Meskipun terkesan administratif, pelanggaran PP atau PKB dapat menjadi dasar sanksi disipliner, mulai dari teguran hingga pemutusan hubungan kerja. Perusahaan umumnya merujuk pasal ini ketika ingin menindak tanpa harus membuktikan kerugian finansial secara konkret.

3. Penggunaan Fasilitas Kantor untuk Kepentingan Pribadi
Dalam dunia kerja, batas antara “sekadar memanfaatkan momen” dan “menyalahgunakan fasilitas” bisa sangat tipis. Misalnya, menggunakan printer kantor untuk materi promosi bisnis pribadi, memanfaatkan software berlisensi perusahaan untuk proyek luar, atau mengatur rapat bisnis pribadi di ruang meeting kantor. Di atas kertas, ini termasuk pelanggaran penggunaan aset perusahaan. Di beberapa industri yang sensitif pada keamanan data—seperti keuangan, teknologi, atau farmasi—pelanggaran semacam ini bisa masuk ranah pidana jika terkait data breach atau pelanggaran hak cipta.

4. Kerahasiaan Informasi (Non-Disclosure Agreement / NDA)
Banyak karyawan menandatangani Non-Disclosure Agreement tanpa terlalu memikirkan konsekuensinya. Padahal, NDA bersifat mengikat secara hukum, dan pelanggarannya bisa berakibat pada tuntutan ganti rugi yang nilainya tidak sedikit. Jika bisnis sampingan Anda bergerak di bidang yang serupa atau berdekatan dengan industri perusahaan, risiko ini menjadi berlipat. Misalnya, karyawan perusahaan teknologi yang mengembangkan aplikasi pribadi dengan konsep mirip produk kantor. Meski tidak menggunakan satu pun file resmi perusahaan, kemiripan ide saja bisa cukup bagi perusahaan untuk mengajukan gugatan, terutama jika ada bukti bahwa pengembangan dilakukan selama jam kerja atau menggunakan sumber daya perusahaan.

Fenomena pekerjaan sampingan di tengah meningkatnya gelombang PHK bukan hanya cerita tentang “cari tambahan pemasukan.” Lebih dalam dari itu, ini adalah potret perubahan lanskap ketenagakerjaan—di mana rasa aman dalam bekerja semakin tipis, dan karyawan terdorong untuk mencari penopang lain demi bertahan. Perusahaan, di sisi lain, dihadapkan pada dilema yang tidak sederhana: bagaimana menjaga fokus dan kinerja tanpa mematikan kreativitas serta kebutuhan hidup karyawan.

Memahami konteks ini menuntut lebih dari sekadar membaca teks aturan atau pasal hukum. Dibutuhkan empati, transparansi, dan keberanian untuk berdialog. Perusahaan yang memilih untuk hanya melihat fenomena ini dari kacamata disiplin kerja akan kehilangan kesempatan membangun kepercayaan jangka panjang. Sebaliknya, perusahaan yang mampu melihat alasan di balik pilihan karyawan—lalu mengarahkan agar aktivitas tersebut tidak berbenturan dengan kepentingan bisnis—akan menemukan bahwa loyalitas bisa lahir bukan karena larangan, tetapi karena rasa saling menghargai.

Bagi karyawan, pekerjaan sampingan memang bisa memberi ruang aman finansial, tetapi harga yang harus dibayar jika mengabaikan etika dan aturan bisa jauh lebih mahal: reputasi yang tercoreng, peluang karier yang tertutup, bahkan potensi konflik hukum. Di dunia profesional, nama baik adalah modal yang nilainya sering kali melebihi gaji bulanan.

Akhirnya, keberlangsungan hubungan kerja bukan ditentukan oleh satu pihak saja. Ini adalah jalan dua arah yang dibangun oleh saling pengertian. Ketika perusahaan berani membuka ruang diskusi, dan karyawan berani bersikap transparan, maka pekerjaan utama dan sampingan tidak lagi menjadi ancaman—melainkan bisa berjalan selaras, saling memperkuat, dan membawa manfaat bagi semua pihak.

Karena di dunia kerja hari ini, yang kita butuhkan bukan hanya kontrak di atas kertas, tetapi juga kontrak tak tertulis: kepercayaan, integritas, dan rasa saling menjaga.


Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *