
Kalau dengar kata “serikat pekerja”, apa sih yang langsung muncul di pikiranmu?
Demo di jalanan? Poster-poster tuntutan? Orasi pakai toa?
Gak salah sih. Memang itu bagian dari sejarah serikat pekerja.
Tapi sekarang, kita hidup di era yang berbeda.
Di zaman serba digital, serba cepat, dan serba fleksibel ini.
Apakah serikat pekerja masih relevan?
Atau malah sudah menjadi sesuatu yang ketinggalan zaman?
Yuk, kita ngobrol santai soal ini.
Kenapa Dulu Serikat Pekerja Dibentuk?
Kalau kita mundur ke beberapa dekade lalu, dunia kerja itu keras banget.
Jam kerja bisa 14 jam sehari.
Upah? Sekadarnya aja, bahkan kadang gak cukup buat hidup layak.
Jaminan kesehatan? Liburan? Asuransi? Itu mimpi.
Di situ, serikat pekerja lahir.
Mereka berjuang bareng-bareng supaya ada standar upah, jam kerja wajar, hak cuti, keselamatan kerja, dan perlindungan lain.
Serikat pekerja adalah suara kolektif saat satu suara individu terlalu kecil untuk didengar.
Dan hasil perjuangan mereka?
Banyak hak kerja yang kita nikmati sekarang—itu hasil dari perjuangan panjang yang penuh keringat dan air mata.
Zaman Berubah, Dunia Kerja Berubah
Sekarang?
Kita hidup di dunia yang jauh lebih nyaman dibanding zaman dulu.
Ada undang-undang ketenagakerjaan. Ada BPJS. Ada kontrak kerja yang jelas. Ada hak cuti melahirkan, ada pesangon, bahkan ada program upskilling yang disponsori perusahaan.
Banyak perusahaan juga sudah punya budaya kerja yang lebih sehat dan transparan.
Employee engagement survey, sesi 1-on-1, coaching, wellness program—semua itu adalah bagian dari ekosistem baru.
Jadi wajar kalau ada yang bertanya:
“Kalau semuanya sudah diatur, buat apa lagi serikat pekerja?”
Masih Perlukah?
Jawabannya: Masih. Tapi dengan wajah yang berbeda.
Banyak perubahan dalam dunia kerja yang kelihatan keren di atas kertas, tapi praktiknya masih jauh dari ideal.
Contohnya:
- Gig economy yang tumbuh pesat, tapi banyak pekerja lepas tanpa perlindungan hak dasar
- Outsourcing yang kadang menabrak standar hak karyawan
- Perubahan teknologi yang menghilangkan pekerjaan lebih cepat dari kemampuan orang untuk beradaptasi
- Perjanjian kerja yang kadang masih berat sebelah untuk pekerja
Dalam kondisi seperti ini, suara kolektif tetap dibutuhkan.
Bukan untuk sekadar demo, tapi untuk:
- Mengawal penerapan hukum ketenagakerjaan
- Memastikan pekerja tetap punya ruang bicara di era korporasi modern
- Membela hak-hak pekerja informal yang belum sepenuhnya dilindungi
- Menjadi jembatan dialog antara karyawan dan manajemen saat terjadi ketimpangan
Serikat Pekerja Zaman Now, Bukan Cuma Demo
Kalau dulu serikat pekerja identik dengan mogok kerja dan demonstrasi, sekarang serikat pekerja bisa tampil lebih modern.
Serikat pekerja bisa menjadi mitra strategis perusahaan, dengan peran seperti:
✅ Memberikan masukan berbasis data untuk perbaikan kebijakan kerja
✅ Menginisiasi program kesejahteraan yang berfokus pada karyawan
✅ Menjadi mediator yang membantu menyelesaikan konflik sebelum membesar
✅ Membantu edukasi hak dan kewajiban karyawan secara berimbang
✅ Ikut mendukung program perubahan budaya kerja agar lebih manusiawi dan sehat
Bahkan beberapa serikat pekerja modern sekarang punya:
- Workshop pengembangan diri
- Program literasi keuangan untuk anggotanya
- Kelas hukum ketenagakerjaan
- Seminar tentang kesehatan mental di tempat kerja
Serikat yang Bertransformasi
Di beberapa perusahaan besar di luar negeri, serikat pekerja justru menjadi bagian dari inovasi HR.
Ada serikat pekerja yang berkolaborasi dengan manajemen untuk mengembangkan program remote work yang lebih adil.
Ada juga serikat pekerja yang membantu membentuk kebijakan parental leave yang lebih fleksibel.
Mereka nggak lagi hanya datang saat ada masalah.
Mereka hadir dari awal, duduk satu meja, dan menjadi bagian dari solusi.
Kuncinya?
Komunikasi terbuka, niat kolaboratif, dan kepercayaan dua arah.
Image yang Harus Diubah
Sayangnya, di banyak tempat, serikat pekerja masih dianggap:
- Kaku
- Konfrontatif
- Lambat beradaptasi dengan perubahan
- Sibuk memperjuangkan hal-hal yang tidak semua karyawan setuju
Kalau serikat pekerja mau tetap relevan, mereka perlu berubah.
Bukan kehilangan idealismenya, tapi meng-update cara perjuangannya.
Mereka perlu belajar berkomunikasi lebih baik.
Paham bisnis lebih dalam.
Menggunakan data dan riset, bukan hanya semangat.
Mengutamakan negosiasi daripada konfrontasi.
Mengedepankan kolaborasi daripada permusuhan.
Karena dunia kerja sekarang bergerak cepat, serikat pekerja juga harus gesit dan adaptif.
Kesimpulan: Masih Relevan, Kalau Mau Berkembang
Jadi, serikat pekerja masih relevan?
Iya. Sangat.
Tapi… mereka harus berevolusi.
Dari hanya “pembela hak”, menjadi “mitra strategis” dalam membangun dunia kerja yang lebih adil, sehat, dan berkelanjutan.
Serikat pekerja zaman now bukan cuma tentang menuntut, tapi juga tentang mendengarkan, memahami, berinovasi, dan berkolaborasi.
Dunia kerja butuh suara keberanian,
Tapi juga butuh suara kebijaksanaan.
Dan serikat pekerja bisa jadi dua-duanya—kalau mereka siap untuk berkembang.
Kalau kamu karyawan, yuk mulai lihat serikat pekerja bukan sebagai “alat demo”, tapi sebagai partner perubahan.
Kalau kamu HR, yuk mulai libatkan serikat dalam diskusi strategis—bukan cuma saat masalah udah meledak.
Karena akhirnya, kita semua mau hal yang sama:
Tempat kerja yang manusiawi, adil, dan membuat kita bangga menjadi bagiannya.