
Pernah nggak sih, kamu bangun pagi dan mikir, “Aduh, kerja lagi?” Bukan karena malas, tapi karena udah nggak nemu lagi semangat yang sama kayak waktu awal masuk kerja. Nah, kalau perasaan ini dialami banyak orang dalam satu perusahaan, bisa jadi itu pertanda awal dari fenomena yang sering bikin HR garuk-garuk kepala: resign massal.
Resign massal ini ibarat silent killer di dunia kerja. Nggak kelihatan, nggak terdengar bunyinya, tapi tahu-tahu… boom! Lima orang keluar dalam sebulan, dan tim jadi kelimpungan. Yuk, kita bahas bareng-bareng: apa sih penyebab tersembunyi yang sering bikin karyawan angkat kaki bareng-bareng?
1. Bukan Gaji, Tapi Rasa Tidak Dihargai
Yes, gaji penting. Tapi tahukah kamu kalau rasa dihargai sering kali jadi faktor utama seseorang tetap bertahan?
Banyak karyawan resign bukan karena mereka nggak dibayar cukup, tapi karena mereka merasa kontribusinya nggak dianggap. Coba deh tanya ke beberapa orang yang resign, mungkin jawabannya seperti ini:
“Aku udah kerja keras, tapi kayaknya nggak ada yang notice.”
“Ide-ideku sering diabaikan, padahal aku tahu lapangan.”
“Bosku lebih sering kritik daripada apresiasi.”
Perasaan ini, kalau dibiarkan terus-terusan, bisa bikin satu tim merasa demotivasi—dan akhirnya resign bareng karena merasa tidak berkembang atau tidak dihargai.
2. Budaya Kerja yang Toxic (tapi nggak disadari)
Toxic culture itu bukan cuma soal atasan galak. Kadang yang bikin stress justru hal-hal yang lebih halus, kayak:
- Kompetisi yang nggak sehat
- Saling menjatuhkan antar-rekan kerja
- Atasan yang punya “anak emas”
- Jam kerja fleksibel, tapi kerjaan tetap numpuk 24/7
Dan yang bikin ini “silent killer” adalah… nggak semua orang menyadari itu toxic. Kadang kita pikir, “Yaudah sih, emang gitu budaya kerjanya.” Padahal, pelan-pelan itu nguras mental, dan akhirnya bikin orang memilih keluar demi kesehatan jiwa.
3. Kurangnya Komunikasi yang Sehat
Komunikasi di tempat kerja itu kayak oksigen. Tanpa komunikasi yang sehat, suasana kerja bisa sesak dan bikin burnout.
Contoh sederhananya:
- Karyawan nggak tahu arah perusahaan ke mana
- Tim bingung dengan ekspektasi atasan
- HR jarang buka ruang curhat atau diskusi
- Umpan balik cuma datang pas ada masalah
Kalau komunikasi ini mandek, kepercayaan antar lini juga ikut rusak. Akibatnya? Karyawan ngerasa kerja asal kerja, nggak tahu kontribusinya untuk apa, dan akhirnya cari tempat lain yang lebih terbuka dan manusiawi.
4. Beban Kerja yang Tidak Realistis
Pernah dengar istilah “kerja rodi modern”?
Yup, itu yang sering terjadi di perusahaan dengan ekspektasi tinggi tapi minim sumber daya.
Karyawan dituntut multitasking, lembur, bahkan kerja di akhir pekan. Tapi sayangnya, kompensasi dan pengakuan nggak sebanding.
Lama-lama, ini bukan cuma soal capek badan—tapi juga capek hati. Dan ketika seseorang resign karena beban kerja, teman-temannya yang satu tim biasanya mulai mikir, “Eh, aku juga ngerasain hal yang sama, deh…” Dan boom! Resign massal.
5. Tidak Ada Peluang Bertumbuh
Bayangkan kamu lagi main game, dan levelmu stuck di situ-situ aja. Lama-lama bosan, kan? Nah, begitu juga di dunia kerja.
Karyawan yang nggak dikasih ruang untuk berkembang, naik jabatan, atau belajar hal baru, akan merasa mandek. Apalagi generasi sekarang, terutama Gen Z dan milenial, punya kebutuhan kuat untuk bertumbuh dan belajar.
Kalau kesempatan ini nggak tersedia, ya wajar aja kalau akhirnya mereka cabut dan pindah ke tempat yang lebih menjanjikan.
6. Pemimpin yang Hanya Menyuruh, Bukan Menginspirasi
Pemimpin itu bukan cuma soal jabatan, tapi soal pengaruh. Tapi sayangnya, masih banyak pemimpin yang lebih suka menyuruh daripada membimbing.
Karyawan yang punya atasan suportif dan inspiratif biasanya akan lebih loyal. Sebaliknya, karyawan yang dipimpin oleh atasan yang bossy, nggak transparan, dan nggak punya empati, cenderung lebih cepat resign. Dan ketika satu orang keluar, biasanya yang lain mulai mikir: “Hmm… mungkin aku juga harus pergi.”
7. Tidak Ada Koneksi Emosional dengan Perusahaan
Ini poin yang sering diabaikan. Karyawan yang merasa “punya rumah kedua” di tempat kerja, biasanya lebih tahan banting.
Tapi ketika karyawan datang hanya untuk kerja, tanpa merasa terhubung secara emosional dengan nilai dan budaya perusahaan, mereka akan lebih mudah berpindah ketika ada tawaran baru.
Makanya penting buat perusahaan membangun sense of belonging—bukan cuma lewat outing atau makan bareng, tapi lewat komunikasi yang tulus, nilai yang konsisten, dan kepedulian nyata.
Jadi, Apa yang Bisa HR Lakukan?
- Dengarkan lebih dalam – Bukan sekadar survei tahunan, tapi buka ruang untuk dialog jujur dan dua arah.
- Bangun budaya apresiasi – Sekecil apa pun kontribusi, apresiasi itu penting.
- Latih para pemimpin – Bukan cuma jadi manajer, tapi juga jadi coach dan inspirator.
- Sediakan jalur pengembangan – Dari training, mentoring, hingga kesempatan proyek baru.
- Perbaiki komunikasi internal – Buka ruang komunikasi yang sehat dan transparan.
- Pantau beban kerja – Jangan jadikan loyalitas sebagai alasan untuk menumpuk kerjaan.
Resign massal itu bukan badai yang datang tiba-tiba. Ia adalah akumulasi dari ketidakpuasan yang terpendam, perasaan tidak didengar, dan hilangnya harapan.
Jangan tunggu sampai tim satu per satu meninggalkan kapal. HR dan manajemen perlu jadi “termometer” yang sensitif terhadap perubahan suhu di organisasi—dan jangan lupa, kadang yang terlihat tenang di permukaan, bisa jadi menyimpan potensi meledak dari dalam.
So, mari kita rawat tim kita. Bukan hanya dengan gaji dan bonus, tapi juga dengan rasa dihargai, didengar, dan diberi ruang untuk tumbuh. Karena ketika orang merasa berarti, mereka akan memilih untuk tetap tinggal—bukan pergi.
Kalau kamu HR, apa langkah pertama yang kamu lakukan untuk mencegah “silent killer” ini terjadi di tempatmu?